
KutaKita – Awalnya Medan hanyalah perkampungan. Sementara kerajaan Deli berpusat di Labuhan. Namun setelah Belanda mendapat ijin pemakaian lahan atau konsesi dari Sultan Deli untuk penanaman tembakau, perkembangan perkebunan tidak lagi di sekitar labuhan.
Setelah lama menetap di Labuhan, pada tahun 1869 Jacob Nienhuys pendiri Deli Maatschappij pindah ke Medan yang kala itu masih bernama kampung Medan Putri. Dia mendirikan rumahnya dan kantor perkebunan tembakau Deli diantara pertemuan sungai Babura dan sungai Deli.
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan dan tanggal 1 Maret 1887, Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan juga dari Bengkalis Riau ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga dipindahkan ke Medan. Pemindahan ini bertepatan dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon tanggal 18 Mei 1891. Mulai saat itu ibukota Kesultanan Deli resmi pindah ke Medan.
Di akhir abad 19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang imigrasi besar ke Medan. Gelombang pertama adalah kedatangan orang Tionghoa, India dan Jawa sebagai Kuli Kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang-orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan Tembakau Deli kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan.
Sementara itu kuli dari India dihentikan pengirimannya oleh Pemerintah Inggris di India karena Belanda tidak mau membuat perjanjian dengan mereka yaitu membuka perwakilan Inggris di Medan.
Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi Guru dan Ulama.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tanggal 1 april 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja atau kotamadya) dengan Walikota pertamanya bernama Baron Daniel MacKay.
Berdasarkan “Acte van Schenking” (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda.
Pemilihan anggota Dewan kota Medan ditetapkan beradasarkan golongan yaitu 10 orang Eropa, 5 orang Pribumi dan 2 orang Timur Asing.
Saat itu kota Medan baru terdiri dari 4 kampung yaitu kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir. Beberapa waktu kemudian didirikanlah kampung yang baru seperti kampung Aur, kampung Keling dan lain-lain. Kampung-kampung yang disebutkan diawal banyak didiami oleh orang-orang Melayu. Namun ada juga pemukiman orang-orang Eropa yang cenderung tinggal berkelompok dan menyendiri. Disisi lain orang-orang Tionghoa membuat pemukiman untuk mereka berdagang. Semua tinggal masing-masing dengan komunitasnya. Di kalangan pribumi ada juga kampung yang tinggal hanya dalam satu komunitas saja yaitu kampung Mandailing.
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Pribumi 35.009 orang, Tionghoa 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.
Sejak penyerahan kedaulatan Indonesia, kota Medan telah beberapa kali melakukan perluasan areal, dari 1.853 Hektar menjadi 26.510 Hektar pada tahun 1974. Dengan demikian dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat dari zaman Belanda.
Ditulis oleh Joey Bangun
Sejarah Medan Tempo Doeloe – Tengku Luckman Sinar
pemkomedan.go.id