Sejarah Kemerdekaan Kota Medan

oleh Joey Bangun

Setelah Pejuang-pejuang tradisional di Sumatera Utara kalah maka Belanda membentuk pemerintahannya. Mereka membagi wilayah Sumatera Utara menjadi 2 Keresidenan yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Keresidenan Sumatera Timur dipusatkan di kota Medan. Sementara Keresidenan Tapanuli dipusatkan di kota Sibolga.

Setelah Jepang masuk dan Belanda melemah, saat itu pula para pejuang generasi selanjutnya lahir. Jepang membuat pelatihan militer seperti Gyugun dan Heiho untuk pemuda-pemuda di Sumatera Utara. Jepang bermaksud menguatkan militernya dengan memakai tenaga rakyat untuk menghadapi pasukan Sekutu. Setelah Jepang kalah, tentara rakyat bentukan Jepang ini justru menjadi kekuatan pasukan Indonesia menghadapi Belanda yang kembali hendak merebut Indonesia. 

Penjajahan Belanda di kota Medan terjadi dengan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial.  Tahapan ini seiring berkembangnya perekonomian di wilayah Kesultanan Deli dan Serdang akibat perkembangan pesat perkebunan tembakau. Wilayah Deli yang berpusat di Labuhan dipindahkan ke Medan tahun 1879. Medan yang dulunya hanya perkampungan dibangun Belanda menjadi sebuah kota.

Ibukota Keresidenan Sumatera Timur yang berada di Bengkalis Siak kemudian dipindahkan ke Medan. Perpindahan di tanggal 1 Maret 1887 ini juga bersamaan dengan perpindahan Kerajaan Deli dari Labuhan ke Medan. Disitulah mulai dilakukan pembangunan Istana Maimoon. Tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kotamadya) dengan Walikota pertama bernama Daniel Mackay.

Perkembangan ekonomi dan bisnis di kota Medan berkembang pesat menjadikan kota ini menjadi kota terbesar di pulau Sumatera. Namun obsesi Belanda untuk terus menguasai kota Medan dan mengambil keuntungan dari hasil perkebunan harus terganggu dengan kedatangan Jepang. Jepang yang mendarat di Tanjung Tiram Batubara langsung mengambil alih kota Medan. Kedatangan Jepang disambut meriah di kota Medan. Jepang yang mengumandangkan Nippon Pelindung Asia dianggap rakyat sebagai sebuah harapan untuk perubahan.

Di zaman penjajahan Jepang kota Medan dipimpin oleh seorang Walikota bernama Shinichi Hayasakhi. Sementara Keresidenan Sumatera Timur dijabat oleh Tetsuzo Nakashima.

Penjajahan Jepang memang sangat menyakitkan. Namun mereka memberikan pelatihan militer kepada pemuda Indonesia di Medan seperti Gyugun dan Heiho. Dari sinilah lahirnya tentara-tentara Indonesia seperti Ahmad Tahir, Zein Hamid, Kasim Nasution, Jamin Ginting, Boyke Nainggolan dan Wiji Alfisah. Hingga tahun 1945, sekitar 10.000 kader militer telah dihasilkan Jepang di seluruh Sumatera Utara baik itu dari Sumatera Timur dan Tapanuli.

Baca Juga  Traktat London 1824

Tahun 1945 di seluruh Indonesia bergema persiapan Proklamasi.  Demikian juga di Kota Medan, para tokoh pemuda melakukan berbagai macam persiapan. Mereka mendengar bahwa bom atom telah jatuh di kota Hiroshima dan Nagasaki. Jepang telah kalah. Penguasa Jepang di kota Medan yang sudah menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya.

Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan diproklamasikan dari Jakarta. Namun berita proklamasi belum sampai ke kota Medan karena komunikasi masih sangat susah saat itu. Kantor Berita Jepang “Domei” yang sudah ada perwakilannya di Medan tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan itu. Kabar kemerdekaan Indonesia di Medan justru baru sampai sepuluh hari kemudian pada tanggal 27 Agustus 1945. 

Pada tanggal 6 Oktober 1945 dilangsungkan rapat raksasa di Lapangan Fukuraido Medan. Rapat raksasa ini bertujuan membahas pengibaran bendera Merah Putih dan pembacaan Proklamasi. Proklamasi kemudian dibacakan oleh Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Sumatera wakil Pemimpin Besar Republik Indonesia untuk Propinsi Sumatera. Sejak itu Fukuraido diganti namanya menjadi Lapangan Merdeka Medan. Keputusan ini diumumkan oleh Wali Kota Medan dari Republik yaitu Luat Siregar.

Kedatangan Sekutu yang memboncengi NICA (Belanda) membuat para pemimpin Republik menjadi gerah. Belanda mulai menunjukkan pergerakan yang mencurigakan untuk merebut kembali kota Medan.

Para pemuda di Medan pun segera mengambil sikap. Dimotori oleh Ahmad Tahir seorang alumni Gyugun, dibentuklah Barisan Pemuda Indonesia (BPI) sebagai tindakan antisipasi. Barisan Pemuda di kota Medan punya ciri khas, yaitu mengenakan lencana merah putih.

Suatu hari didepan Pension Wilhemina di jalan Bali (jl. Veteran sekarang) yang menjadi markas tentara NICA, sejumlah tentara Belanda bertemu dengan seorang pemuda Indonesia yang memakai Lencana Merah Putih. Nama Pemuda itu Abdul Wahid Marbun. Wahid Marbun dipaksa menginjak-injak dan menelan lencana itu. Wahid menolaknya kemudian melarikan diri dan melaporkannya kepada tokoh pemuda seperti F. Hutapea dan Abdul Manaf Lubis. Inilah awal terjadi pertempuran di kota Medan.

Tanggal 13 Oktober 1945, Pension Wilhemina diserang ratusan Laskar Pejuang, pemuda dan Pedagang Pusat Pasar. Dalam peristiwa itu, 7 pemuda Indonesia gugur, 7 orang prajurit NICA tewas dan 96 orang luka-luka baik dari pihak Belanda dan Republik. Peristiwa inilah memicu Pertempuran Medan Area.             

Baca Juga  Perjuangan Pahlawan Sumatera Utara

Komandan Tentara Sekutu di Medan, Brigadir Jenderal TED Kelly, mengeluarkan perintah agar rakyat Indonesia di Medan dilarang memiliki senjata, dan senjata yang ada harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Tentu saja rakyat Medan tidak memenuhi aturan tersebut.

Tanggal 1 Desember 1945, tentara Sekutu membangun garis batas di sudut-sudut pinggiran kota Medan dan memasang papan-papan bertuliskan: Fixed Boundaries Medan Area. Dari sinilah muncul istilah Medan Area.

Hal ini membuat para pemuda Indonesia di Medan tertantang. Tanggal 6 Desember 1945 tentara Inggris menggeledah bioskop dan kantor Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) maka suasana kian memanas.

Empat hari kemudian, pada tanggal 10 Desember 1945, tentara Inggris dan Belanda bergerak keluar pusat kota Medan menuju Deli Tua. Di sana pasukan Republik yang dipimpin Abdul Karim harus berhadapan dengan pasukan Sekutu.

Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran. Kota Medan dikelilingi pertempuran. Perang ini memakan banyak korban dari kedua belah pihak. Kekacauan terjadi di mana-mana.

Seorang perwira Inggris diculik oleh pemuda Indonesia. Beberapa truk berhasil dihancurkan. Aksi-aksi bersenjata itu lalu dikenal sebagai Pertempuran Medan Area. Setelah itu Medan terbagi dua. Sisi timur yang dekat laut dikuasai Sekutu, sementara sisi timur yang ke arah pedalaman dikuasai Republik. Jalan kereta api dari Pulo Brayan ke Medan menjadi pembatasnya.

Pada April 1946, Sekutu akhirnya menguasai kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan dipindahkan ke kota Pematang Siantar. Kemudian diadakan pertemuan di antara para komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pada Agustus 1946 terbentuk satu komando bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area untuk memperkuat perlawanan di kota Medan.

Komando ini terus menyerang Sekutu di wilayah Medan. Pemberontakan melawan Sekutu di Medan terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1949.

Demikian sejarah singkat perjuangan kemerdekaan di kota Medan. Banyak pejuang di kota ini yang telah berjasa membebaskan Medan dari penjajahan. Mari kita hargai jasa-jasa pahlawan kita dengan sumbangsih terbaik untuk kota Medan dan Sumatera Utara yang kita cintai ini.



Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *