
KutaKita – Di zaman Kolonial Belanda sebuah hotel terkenal berdiri di kota Medan. Hotel itu tidak saja terkenal di Medan tetapi juga merupakan salah satu hotel terbesar dan terbaik di Nederlandsche Indie atau Hindia Belanda. Hotel ini bernama Hotel De Boer. Sejak Belanda angkat kaki dari Indonesia, Hotel ini dinasionalisasi kemudian bersalin rupa menjadi Hotel Dharma Deli lalu berubah nama lagi menjadi Hotel Grand Inna.
Seperti namanya hotel ini diambil dari nama pendirinya yaitu Aient Herman de Boer atau lebih dikenal dengan nama singkat Herman de Boer. Dibukanya perkebunan tembakau di Sumatera Timur menarik perhatian banyak orang. Terlebih kualitas tembakau Deli ketika itu sangat terkenal hingga ke Eropa. Karena perkembangan tembakau Deli semakin maju maka menarik perhatian banyak orang khususnya para Investor yang menanamkan modal mereka di perkebunan. Juga hal-hal lain dalam bisnis yang menunjang perkebunan. Termasuk dunia perhotelan.
Cerita sepak terjang perjalanan Herman De Boer berawal dari kota Surabaya. Lahir tanggal 24 Februari 1866 di Workum, Friesland, Belanda. Pada masa mudanya beliau bekerja sebagai Juru Masak di sebuah kapal Hindia Belanda. Dia berhenti bekerja lalu menetap di Surabaya.
Di kota itu Herman membuka sebuah restoran dan toko roti. Herman de Boer kemudian bertemu dengan istrinya Louise Carolina Stientra untuk pertama kali di toko roti miliknya. Louise seorang Belanda kelahiran Surabaya adalah salah satu karyawannya. Tahun 1897 mereka menikah di Surabaya. Saat itu Herman berusia 30 tahun sementara Louise berusia 22 tahun. Dari perkawinan inilah lahir 7 anak yang terdiri dari 4 orang Putra dan 3 orang Putri. Yang sulung lahir di Surabaya sementara 6 lainnya lahir di Medan.
Tahun 1898 restoran dan toko roti milik Herman de Boer di Surabaya mengalami kebangkrutan. Herman dan istrinya memutuskan untuk meninggalkan Surabaya dan mencoba peruntungan usaha dengan pindah ke Medan. Awal kedatangannya ke kota Medan Herman De Boer mendapat bantuan dari Administrateur Deli Maatschappij C.W. Janssen sebuah lahan untuk memulai usahanya. Dukungan Deli Maatschappij terhadap usaha Herman De Boer sangat besar karena usaha restoran dan penginapan masih sangat sedikit di Medan ketika itu. Di kota yang baru berkembang itu mereka memulai usaha baru dalam bidang sama yaitu restoran dan toko roti serta dilengkapi dengan penginapan kecil dengan 7 kamar. Restoran itu diberi nama seperti namanya De Boer.
Seiring diangkatnya Medan menjadi Gemeente (Kotamadya) maka berkembang pula Restoran De Boer. Perkembangan ini tidak lepas dari semakin majunya perekonomian di kota Medan. Semua tidak lepas dari eksistensi Tembakau Deli yang sangat berkembang ketika itu.
Tahun 1909 Herman De Boer kemudian memperluas usaha restorannya menjadi hotel dengan membuat sebuah Perseroan Terbatas dengan nama N.V. Hotel Maatschappij De Boer dengan modal f. 200.000. Modal tersebut dipergunakannya untuk memperluas bangunan hotel menjadi 40 kamar dan aula utama yang dilengkapi dengan 400 buah lampu. Herman de Boer memperluas bangunan restorannya menjadi aula besar atau aula utama untuk hotel dengan luas 48 × 24 Meter. Aula ini dipergunakan untuk acara-acara besar dan juga berfungsi sebagai restoran.
Pada tahun 1930 Herman de Boer beserta keluarganya kembali ke Belanda namun anak kedua Herman De Boer yaitu Diederic Jacob de Boer diserahkan tanggung jawab untuk pengelolaan hotel De Boer. Kembalinya Herman de Boer dan istrinya ke kota Medan disebabkan oleh krisis yang menimpa hotelnya ketika itu. Krisis yang terjadi pada Hotel De Boer disebabkan oleh kebakaran yang terjadi pada tanggal 16 September 1935.
Kebakaran di Hotel De Boer terjadi pada sore hari pukul 18.30 dari salah satu kamar para artis yang akan manggung di hotel itu.
Pada tanggal 17 September 1935, Herman de Boer melepas saham Hotel De Boer kepada N. V. Administratie Kantor Kamerlingh Onnes yaitu pengelola Medan Hotel.
Pada saat itu Hotel De Boer menjadi hotel utama menjadi tempat mengadakan pesta, makan malam, konser musik dan pertunjukan teater.
Setelah melepas saham hotelnya, Herman de Boer memutuskan untuk tinggal di Bandar Baru, Sibolangit. Tidak lama menetap di Bandar Baru, pada sore hari tanggal 30 Oktober 1937 Herman de Boer wafat. Dia meninggal pada usia 71 tahun.
Sebagai pendiri Hotel De Boer, jasad Herman de Boer dibawa lewat didepan Hotel De Boer dengan pengibaran bendera setengah tiang di hotel, sebagai tanda berkabung dan seluruh pegawai berdiri didepan hotel untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Herman de Boer. Herman De Boer dimakamkan di pemakaman orang-orang Eropa di Jalan Paleisweg (sekarang jalan Brigjen Katamso Medan).
Istrinya Louise Carolina de Boer dan seluruh anaknya pergi meninggalkan Hindia Belanda dan kembali ke Apeldoorn, Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, Hotel De boer dijadikan markas militer Jepang. Namun saat Jepang kalah dan sekutu datang, hotel ini dijadikan Raymod Westerling dan pasukan KNIL sebagai tempat tinggal untuk menyusun kekuatan dalam penyambutan tentara Sekutu di kota Medan. Saat tentara Sekutu Inggris datang, Hotel De Boer dijadikan rumah sakit untuk rehabilitasi korban perang.
Pada 30 Desember 1958 melalui siaran radio ANP Nieuwsbericht pukul 18.00 mengumumkan secara resmi hotel-hotel di Medan di Nasionalisasikan menjadi milik Indonesia. Dengan pernyataan itu pula Hotel De Boer resmi menjadi milik Pemerintah dan berubah nama menjadi hotel Dharma Deli.
Kemasyuran Hotel De Boer membuatnya pernah dikunjungi oleh tamu kehormatan seperti Ratu Wilhelmina dari Belanda, Raja Léopold II dari Belgia hingga seorang penari erotis yang juga mata-mata terkenal perang dunia I bernama Margaretha Zelle yang lebih dikenal dengan nama Mata Hari.
Hotel De Boer merupakan wajah modernitas Sumatera Timur ketika itu. Jejaknya masih dapat dilihat dari hotel yang kini bernama Grand Inna di jalan Balai Kota Medan.
Ditulis oleh Joey Bangun
SUMBER SEJARAH Sejarah Medan Tempo Doeloe -Tengku Luckman Sinar
Sejarah Perkembangan Hotel De Boer di Medan Tahun 1899-1958 – Muhammad Rasyidin