
KutaKita – Jauh sebelum kedatangan Belanda opium banyak digunakan oleh orang-orang di Sumatera Timur. Konsumsi opium yang terkenal dengan candu ini makin meningkat sejak Belanda membuka perkebunan tembakau Deli dan menjualnya secara bebas dan legal.
Awal sebelum kedatangan Belanda bisnis penjualan opium dijalankan oleh raja-raja lokal pribumi. Para raja lokal itu juga mengkonsumsi opium. Penggunaan opium merupakan gaya hidup para bangsawan lokal. Sementara masyarakat golongan menengah kebawah memakai opium saat acara perayaan dan hari besar.
Opium diperkenalkan oleh saudagar Arab. Mereka membawanya dari Levant (Turki), Pakistan, Afganistan dan Bengal (India). Peredaran diawali dari Penang dan Singapura lalu selanjutnya ke Sumatera Timur.
Sebelum pemerintah Kolonial masuk ke Sumatera Timur, kelompok yang dinamakan The Big FivePenang memasok opium ke Deli melalui Asahan. Kemudian para Bandar opium datang dari dataran tinggi dan rendah bertemu di Asahan. Mereka melakukan transaksi pembelian opium dan mengedarkannya mulai dari Labuhan Batu, Langkat, Binjai, Deli, Simalungun, Serdang hingga Tanah Karo.
Selama periode pemerintah Kolonial Belanda tahun 1868, opium tidak lagi di monopoli oleh Pemerintah lokal. Belanda menyerahkannya kepada orang-orang Tionghoa. Opium diperdagangkan melalui sistem tender. Perdagangan melibatkan Dewan Tionghoa dan Bandar lokal serta diawasi pejabat Kolonial. Penawaran dilakukan di Bataviaatas izin pejabat Kolonial di Deli. Pemenang lelang berhak mengedarkan opium di wilayahnya. Opium kemudian diteruskan kepada orang ketiga dan sebagian dilelang kepada pengusaha lainnya yang menjadi Bandar-bandar kecil di wilayahnya.Kemudian opium dijual melalui loket resmi oleh petugas pemasaran yang disebut Mantri Candu.
Sementara itu banyak juga opium ilegal yang tidak resmi diperjualbelikan. Pemasoknya tetap sama yaitu The Big Five Penang melalui jalur Asahan. Namun untuk mengamankan usahanya dari kejaran pemerintah Kolonial mereka tidak lagi memakai jasa Bandar lokal yang dibekingi para raja-raja setempat, namun denganpemimpin Tionghoa yang dekat dengan pemerintah Kolonial Belanda.
Hal ini menyebabkan rasa tidak suka dan iri dari para pemain lama opium dari kalangan pribumi. Para raja lokal tidak lagi mendapat keuntungan memonopoli karena kehadiran orang-orang Tionghoa itu. Tidak jarang terjadi konflik antara para pemimpin rakyat dengan orang-orang Tionghoa. Salah satu kasus terjadi tahun 1872, orang Tionghoa pemegang hak monopoli opium di Hamparan Perak ditangkap oleh pemimpin setempat.
Di Hindia Belanda, pabrik opium dibangun tahun 1902 di Salemba, Jakarta. Bahan baku diimpor dari Pakistan, Afganistan dan Bengal. Dari Batavia, opium olahan (bereid opium) di distribusikan ke seluruh daerah termasuk Medan. Penjualan dikenai retribusi daerah, keresidenan dan negara. Pemerintah swapraja mendapat insentif di daerahnya. Di Deli, opium adalah penyumbang 8 persen devisa Negara.
Di saat Belanda membuka tembakau Deli, mereka mulai memperioritaskan perdagangan opium kepada kuli kontrak yang bekerja di sepanjang tembakau Deli. Setiap ibukota kecamatan dan daerah perkebunan di Deli tedapat loket atau kedai resmi penjualan opium. Mereka membelinya secara bebas.
Sekedar pengetahuan bagi kita opium berasal dari tanaman Poppy (papacer Somniverum) sejenis bunga. Getah Poppydiolah menjadi serbuk dan mengandung zat adiktif. Opium dikonsumsi dengan cara dirokok dengan menggunakan pipa hisap (ngudud) atau dilinting dengan campuran lain. Opium mengandung zat adiktif untuk menambah kekebalan tubuh, mengurangi rasa sakit atau karena luka, serta halusinasi yang mengarah ke khayalan eksotisme. Opium mengandung morfin.
Orang-orang Deli lebih akrab menamakan opium sebagai candu atau madat. Menghisap opium kemudian menjadi gaya hidup. Sebuah simbol tingginya derajat status bila dalam acara-acara tertentu jika tuan rumah bisa menyajikan opium untuk dihisap para tamu. Sementara dalam jamuan yang lebih mewah tuan rumah akan mengadakan pesta candu bagi tamu-tamu terhormat. Mabuk madat ini juga dilengkapi hiburan penari dan musik pengiring.
Candu tidak hanya dikonsumsi oleh orang kaya dan para bangsawan. Para Bandar mencari cara agar masyarakat miskin ikut mabuk. Para Bandar yang dibekingi oleh Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memusatkan sasarannya kepada Kuli Kontrak di perkebunan tembakau Deli.
Bagi kalangan Kuli Kontrak opium atau candu sangat diperlukan karena efeknya bisa meningkatkan kekebalan tubuh dan menghilangkan rasa sakit. Selain itu candu menjadi pilihan untuk mengurangi penderitaan akibat beratnya pekerjaan di perkebunan. Ada yang menyebutkan candu justru bisa meningkatkan vitalitas pria. Justru hal ini memberikan dampak positif bagi Kuli perkebunan karena Belanda banyak menyediakan rumah pelacuran.
Tanpa disadari Belanda memanfaatkan opium untuk memiskinkan Kuli Kontrak. Belanda ingin mereka bertahan dan memperpanjang kontrak. Para tuan kebun Belanda mempersulit ijin keluar dari perkebunan ataupun sekedar cuti. Mereka tidak ingin kuli-kuli kontrak itu melarikan diri.
Biasanya cara Belanda adalah memikat para Kuli saat mereka gajian diawal bulan. Mereka menggelar pertunjukan Wayang, Ronggeng hingga Teater Tionghoa. Selain itu mereka juga menggelar judi dadu. Barak-barak tempat pelacuran dibuka. Kedai-kedai Kelontong lalu menjual bebas opium.
Setiap awal bulan itulah para kuli sangat senang. Mereka berfoya-foya. Bisnis gelap ini dikelola oleh orang-orang Tionghoa kaya. Para pemilik kebun berperan untuk meminjamkan uang kepada mereka yang telah kehabisan uang karena berfoya-foya. Mereka dibuai tanpa sadar. Maksud Belanda agar mereka hidup melarat dan harus membayar utang, mau tidak mau mereka harus memperpanjang kontrak lagi di perkebunan.
Obat penenang bernama opium ini sangat disenangi oleh para kuli terutama yang berasal dari Tionghoa. Bagi mereka menghisap candu adalah cara melepas penat setelah bekerja seharian. Namun penggunaan candu setiap hari justru menyebabkan ketergantungan yang melemahkan fisik. Ketergantungan candu inilah yang membuat kuli harus berutang karena mereka sangat membutuhkannya setiap hari. Akibatnya sama, mereka diharuskan bertahan dengan memperpanjang kontrak.
Pemerintah kolonial memakai opium untuk kepentingan politik dan usahanya di Medan. Hal ini tidak disadari oleh masyarakat Medan ketika itu. Di zaman sekarang opium banyak beredar dikemas dalam bentuk narkoba jenis lain. Walau tidak seperti dulu yang dianggap barang legal dan dipasarkan bebas. Narkoba zaman sekarang adalah barang illegal yang menyalahi hukum negeri ini. Namun kita harus selalu berhati-hati. Motifnya tetap sama Narkoba adalah cara bangsa lain menghancurkan bangsa ini.
Ditulis oleh JOEY BANGUN.
—————————————————
SUMBER SEJARAH
Perdagangan dan Pemertahanan Kuli di Perkebunan : Opium di Deli, 1870 – 1942 oleh Eron Litno Damanik
Historia.id
Koeli Kotrak Tempo Doeloe – H. M. Said
Nusantara di abad 17 Ketika Warga Bebas Jual Beli Narkoba – Lombok Post