
KutaKita – Polonia berasal dari nama Latin Polandia sebuah negara yang terletak di Eropa Timur. Penamaan ini tidak lepas dari sosok Baron Ludwig Michalski seorang berbangsa Polandia yang menurut situs resmi Pemerintah Polandia www.gov.pl, adalah orang Polandia pertama dalam sejarah yang sampai ke Hindia Belanda dan berbisnis di negeri ini.
Siapakah Baron Ludwig Michalski dan bagaimana perannya dalam pendirian bandara Polonia?

Baron Ludwig Michalski lahir tanggal 25 Agustus 1836 di Krakow salah satu kota tertua di Polandia. Di zaman perang dunia II Krakow menjadi tempat bersejarah karena letaknya dekat dengan Kamp Konsentrasi Auschwitz, lokasi pembantaian etnis Yahudi oleh Nazi Jerman.
Baron Ludwig Michalski tercatat sebagai pengusaha Polandia-Swiss. Awalnya dia bekerja di pabrik peralatan pertanian sebelum direkrut menjadi tentara Austria tahun 1858. Michalski terlibat dalam pemberontakan The January Uprising (Pemberontakan Januari) di Vistula Polandia yaitu pemberontakan bangsa Polandia terhadap pendudukan Rusia di negeri itu.
Setelah kekalahan pemberontakan pada bulan Agustus 1864, ia melarikan diri ke Swiss dan menetap di kota Zurich. Atas dukungan Gottfried Keller, Sekretaris Kemanusiaan “Komite Sentral Swiss untuk Polandia (Schweizerischen Zentralkomitees für Polen)”, Michalski dapat melanjutkan kuliahnya di Polytechnikum (sekarang ETH Zurich) dan selesai dengan gelar Sarjana Teknik pada tahun 1868.
Tak lama setelah itu ia mendapatkan kewarnegaraan naturalisasi Swiss dari kotamadya Stallikon. Pada bulan Oktober 1868 bersama istrinya Anna Breker, Michalski melakukan perjalanan ke Sumatera. Kehadirannya di Sumatera Timur mendapat sambutan hangat dari Sultan Deli Mahmud Al Rasyid. Karena kepercayaannya Sultan Deli menugaskan Michalski untuk membangun “Gardekorps nach europäischem Vorbild” sebuah Korps Pengawal seperti model di Eropa. Karena jasanya kepada kerajaan Deli, Sultan memberikan hadiah tanah yang sangat luas.
Pada tanggal 14 Desember 1869 Baron Michalski menerima kontrak konsesi lahan seluas 2000 bidang di Lanskap Kampung Baroe dan Lama Urung Sukapiring. Kontrak itu tercatat hak pemakaian tanah selama 75 tahun. Michalski menamakan tanah itu Polonia, sama seperti penyebutan negerinya Polandia. Lalu dia membangun Onderneming (perkebunan) Polonia yang difokuskan pada penanaman tembakau.
Anna Breker, istri Michalski meninggal dunia tahun 1869 karena tidak tahan iklim tropis yang panas dan lembab. Tidak lama kemudian Michalski menikah lagi dengan temannya bernama Anna Hottinger. Perkawinan yang kedua ini Michalski dikaruniakan empat orang anak.
Pada tahun 1875 Michalski kembali ke Swiss. 4 Tahun kemudian tahun 1879, dia menjual hak sewa perkebunan Polonia kepada Deli Maatschappij perusahaan Tembakau Deli milik seorang Belanda bernama Jacob Nienhuys. Pada tahun itu juga dia membeli sebuah Kastil Hilfikon seharga 70.000 franc di Swiss. Michalski dan keluarganya tinggal disana. Dia mengidap penyakit paru-paru dan meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1888.
Walau sudah dibeli Deli Maatschappij, tahun 1883 perkebunan Polonia ini ditutup dan dibuka kembali pada tahun 1887. Pada tahun ini perkebunan ini menjadi milik Langkat Association Maskapai dengan administratornya A.V.Ch. Bruijn.

Pada tahun 1892 Deli Maatschappij yang lebih dikenal dengan nama Deli Mij mengambil alih perkebunan ini kembali. Menurut catatan kolonial tahun 1896, Deli Mij mendapat 1100 bahu dengan 281 M2 dari 6000 M2 lahan yang telah digarap. Pada tahun ini jumlah kuli kontrak yang bekerja di Polonia terdiri dari Tionghoa sebanyak 386 orang, Jawa 95 orang, India 29 orang. Hasil yang diperoleh pada tahun itu sebanyak 1815 pikol.
Menurut catatan kolonial 1909 jumlah kuli kontrak yang terdata pada tahun itu sebanyak 1097 orang dan kuli tetap sebanyak 117 orang. Hasil yang diperoleh pada tahun itu sebanyak 3750 pikol. Di tahun 1919 makin berkurang menjadi hanya 1000 bidang. Dengan 814 orang Kuli Kontrak dan 60 orang Kuli Tetap. Pada tahun 1911, Onderneming Polonia ini masuk dalam wilayah Afdeling Deli & Serdang.

Pada tahun 1924 Deli pun menjadi sibuk saat terdengar kabar bahwa penerbang Belanda bernama Jan Thomassen Thusessink van der Hoop akan menerbangkan pesawat Fokker dari Eropa ke Hindia Belanda untuk pertama kali dalam sejarah. Maka pemerintah Kolonial di Medan berinisiatif menjadikan tanah perkebunan Polonia yang ditinggalkan Baron Michalski itu menjadi alternatif pertama di Medan. Deli Maatschappij yang menjadi pemegang konsesi atas tanah Polonia bersedia tanah itu dijadikan bandara baru. Karena waktu yang sangat singkat pembangunan Bandara tidak bisa dikejar.
Di Belanda, ramai berita persiapan penerbangan pesawat Fokker F-VII registrasi H-NACC yang akan dipiloti Jan Thomassen Thusessink van der Hoop dan pilot kedua Letnan Hendrik van Weerden Poelman serta Insinyur Penerbang Pieter van den Brooke yang berperan sebagai teknisi pesawat.
Awalnya persiapan penerbangan dilakukan di bandara Waalhaven Rotterdam. Sementara itu penerbangan ke Hindia Belanda akan dilakukan di Amsterdam Airport Schiphol. Banyak orang yang datang untuk melepas keberangkatan ketiga awak pesawat itu ke Hindia Belanda.

Fokker F-VII registrasi H-NACC yang akan terbang ini merupakan pesawat dengan desain sangat modern ketika itu. Pilot tidak lagi duduk di udara terbuka tapi dalam kabin tertutup. Pesawat itu terbuat dari kayu dan logam serta didorong dengan mesin Rolls Royce dengan berkekuatan 400 tenaga kuda. Didesain untuk penerbangan jarak jauh, kursi penumpang dilepas dan tangki bahan bakar tambahan dipasang sehingga tetap bisa mengudara lebih dari 10 jam.
Mengingat akan memasuki wilayah suhu tropis, radiator tambahan dipasang dibawah mesin sekaligus untuk mengurangi bobot pesawat. Semua jendela kecuali di satu jendela di kedua sisinya diganti dengan kain terpal. Berbagai suku cadang disimpan di dalam kabin termasuk baling-baling cadangan.
Navigasi dalam mengemudikan pesawat masih menggunakan cara manual yaitu melihat kebawah berpatokan dengan menara gereja, sungai dan kota. Selain 3 awak kapal hanya ada satu tas yang berisi surat-surat di pesawat itu.
Pada tanggal 1 Oktober 1924 H-NACC lepas landas dari Amsterdam Airport Schiphol. Mereka dikawal dan dilepas oleh sepuluh pesawat angkatan udara di perbatasan. Awalnya penerbangan berjalan lancar menuju ke persinggahan pertama dan kedua.
Namun naas penerbangan tidak semulus yang dibayangkan sebelumnya. Kru di darat tidak mendengar kabar dan hilang komunikasi saat pesawat H-NACC menuju ke persinggahan ketiga antara kota Belgrado dan Konstantinopel (Istanbul, Turki). Mereka diperkirakan hilang di pegunungan Transylvania. H-NACC terpaksa melakukan pendaratan darurat di Bulgaria setelah mesinnya panas dan rusak akibat kebocoran radiator. Beruntung pesawat sudah melewati kawasan pegunungan dan mendarat di rerumputan.
Insiden ini mengakibatkan roda pendarat sebelah kiri rusak. Mesin Rolls Royce juga rusak berat dan harus diganti. Masalah paling berat justru di penduduk setempat yang tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak mengerti untuk menolong para awak pesawat tersebut. Meski demikian akhirnya kabar pendaratan darurat H-NACC bisa juga sampai ke Amsterdam.
Beruntung sebuah media mingguan Het Leven mensponsori pengadaan mesin penggantinya. Mesin pengganti itu tiba sebulan kemudian di Bulgaria. Pesawat itu lalu lepas landas melanjutkan perjalanan kembali ke Hindia Belanda.
Pesawat H-NACC itu tiba di Medan tanggal 21 November 1924. Alternatif pendaratan pesawat Fokker yang dikemudikan Van der hoop dilakukan di lapangan pacuan kuda tanah yang dipergunakan oleh “Deli Renvereeniging” yang masih dekat dengan lokasi calon bandara Polonia. Pendaratan dilakukan dalam keadaan darurat dan mendapat sambutan sangat luar biasa. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dari kerajaan Serdang yang ikut dalam penyambutan itu, adalah orang pertama yang diberikan kesempatan untuk menaiki pesawat itu dan melihat-lihat kota Medan dari udara.
Setelah beristirahat selama 2 hari, Van der hoop bersama teman-temannya melanjutkan perjalanannya ke Batavia. Pada tanggal 24 November 1924, mereka tiba di bandara Tjililitan. Bandara Tjililitan sekarang berganti nama menjadi Halim Perdana Kusuma. Kedatangan mereka di Batavia disambut antusias oleh warga Belanda disana terutama Gubernur Jenderal Dirk Fock.
Melihat pentingnya lapangan terbang untuk menunjang kecepatan sarana transportasi ketika itu, maka Asisten Residen Sumatera Timur, C.J van Kempen kemudian mendesak pemerintah Hindia Belanda agar segera mengucurkan dana untuk pembangunan lapangan terbang Polonia. Paling tidak hanya untuk pendaratan darurat saja dulu. Tapi pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia menunda-nunda dengan berbagai alasan.
Persatuan perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur AVROS dan DPV yang merupakan golongan kapitalis kuat di Medan terus mendesak pemerintah pusat untuk membuka lapangan terbang sehingga hubungan cepat transportasi bisa terlaksana. Dalam musyawarah antara Pemerintah Pusat dan Panglima Angkatan Udara KNIL di kota Bandung diputuskan untuk mendirikan beberapa lapangan terbang darurat di beberapa daerah. Kemudian dibentuk komisi KUPFER – WALRAVEN yaitu tim yang akan melakukan survey kelayakan pembangunan lapangan udara di berbagai daerah. Termasuk membuka hubungan udara antara Medan – Batavia – Singapura dengan cabang ke Kotaraja Banda Aceh. Jalur ini nantinya akan disamakan dengan kepentingan Sipil dan Militer.
Setelah mengadakan survey komisi KUPFER – WALRAVEN melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan surat tanggal 28 April 1927 No. 173/VII A. Surat itu juga disertai dengan surat pengantar dari Panglima KNIL yang mendukung pembangunan bandara Polonia.
Lapangan Pacuan Kuda yang selama ini menjadi tempat pendaratan darurat sudah tidak bisa lagi dipergunakan karena sudah ada agenda resmi pacuan kuda setiap minggu tertentu antara Medan, Malaya dan Singapura.

AVROS yang mendapat konsesi tanah Polonia dari Deli Mij sudah menyatakan bersedia menyerahkan tanah perkebunan Polonia untuk dijadikan lapangan terbang. Pemerintah Pusat harus membuka penerbangan sipil ke Sumatera yang saat itu memang belum ada.
Awalnya KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Lauchtvaart Maatschappij) perusahaan penerbangan Belanda anak perusahaan dari KLM, menyatakan bahwa pada minggu pertama tahun 1929 akan membuka penerbangan setiap Minggu antara Batavia – Singapura – Belawan yang menggunakan pesawat terbang yang bisa mendarat di air.
Terdengar kabar dari Batavia bahwa pemerintah pusat sudah menyetujui untuk membangun Bandara Polonia pada tanggal 1 Januari 1931. Lalu pemerintah meminta kesediaan pihak pengurus Deli Renvereeniging (perkumpulan Pacuan Kuda) di Medan untuk menyerahkan tanah yang mereka pakai untuk arena pacuan kuda kepada pemerintah. Pemerintah bersedia untuk mengganti rugi kepada pemilik-pemilik dan penyewa tanah sekitar Polonia.
Pada tanggal 27 Juni datanglah telegram yang menyampaikan kendala-kendala teknis maka pesawat yang pertama baru akan mendarat di Polonia bulan September mendatang. Untuk mempercepat pembangunan, Gemeente (pemerintah kotapraja) Medan bersedia membantu biaya penyempurnaan pembangunan bandara itu. AVROS juga bersedia konsesi tanah mereka di Polonia dipergunakan Pemerintah untuk Bandara itu.
Setelah itu pembangunan dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum Pemerintah Hindia Belanda. Mereka juga menitikberatkan pembangunan pada proses cepat pengeringan air di bandara dan penanaman rumput.
Untuk memastikan kelayakan bandara ini maka dilakukan pemeriksaan akhir oleh Kepala Biro Penerbangan dari Departemen Perusahaan Negara yaitu Dr. W. L. Groeneveld Meyer dan H. Nieuwenhuis dari KNILM. Kesimpulan mereka adalah lapangan terbang itu sudah layak dan sudah bisa dipergunakan. Namun tempat landas pesawat harus diperkeras lagi aspalnya. Maka biaya pengerasan aspal yang memakan biaya tambahan sekitar fl. 13,500 akan dibagi pembiayaannya. fl. 10.000 ditanggung Pemerintah Pusat sementara fl. 3.500 ditanggung Gementee Medan.
Tahun 1928 Bandara Polonia dibuka secara resmi. Namun pembukaan bandara ini masih diawali dengan pendaratan 6 pesawat Pos Udara milik KLM yang terbang langsung dari Belanda. Tahun 1930 KLM telah membuka rute penerbangan komersil ke kota Medan antara Batavia, Medan dan Singapura. Tahun 1937 KNILM membantu Gementee Medan membuat peta kota Medan melalui udara.
Tahun 1940 Jepang memborbardir Bandara Polonia karena dianggap sebagai pangkalan militer milik Belanda dan serangan Jepang ini mengawali pendudukan mereka di negeri ini. Setelah pengeboman Jepang itu untuk sementara Polonia tidak difungsikan sebagai lapangan udara. Baru pada tahun 1946 Polonia mulai dibangun dan diaktifkan lagi menjadi bandara.
Pada tahun 1950 lapangan udara Polonia berada di bawah pengelolaan KLM dan Garuda, Dinas Pekerjaan Umum Bagian Lapangan Terbang, dan Dinas Teknik Umum Angkatan Udara Republik Indonesia. Saat itu landasan pacu Polonia diperpanjang lagi menjadi 1.800 meter dan lebar 45 meter.
Tanggal 18 April 1950 dibentuklah Lanud (Pangkalan TNI Angkatan Udara) dengan Kapten Udara Moeljono sebagai Danlanud pertama.
Berdasarkan ketentuan Pemerintah RI, sejak tahun 1959 pengelolaan bandara ditangani dua instansi yaitu AURI dan Jawatan Penerbangan Sipil. Sejak itu pula landasan mulai diperpanjang menjadi 2.455 meter guna menunjang keperluan dua instansi tersebut.
Pada 1963 Jawatan Penerbangan Sipil diubah menjadi Direktorat Penerbangan Sipil dibawah Departemen Perhubungan. Dampaknya status lapangan yang juga terdapat pangkalan udara militer, menjadi pelabuhan udara bersama berdasarkan keputusan bersama Menteri/Panglima AURI dengan Menteri Perhubungan.
Pada tanggal 26 Oktober 1966 bandara Polonia berubah statusnya menjadi bandar udara internasional dan seluruh fasilitasnya ditingkatkan.
Letak Polonia yang hanya beberapa ratus meter dari pusat kota, membuat bandara yang sudah beroperasi sejak 1928 itu kemudian sudah dianggap tidak ideal lagi sebagai sebuah airport apalagi berstandar internasional. Letaknya juga tidak jauh dari permukiman penduduk bahkan sangat dekat dengan beberapa ruas jalan yang ramai. Apalagi beberapa kecelakaan terjadi di tengah-tengah pemukiman penduduk. Semua faktor itulah yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk membangun bandar udara baru.
Bandara Polonia ditutup untuk penerbangan komersil pada tanggal 24 Juli 2013 pukul 24.00 WIB dan semua aktivitas penerbangan komersil dipindahkan ke Bandar Udara yang baru Kuala Namu di Deli Serdang. Bersamaan dengan ditutupnya penerbangan komersial di Bandara Polonia, kepemilikannya kini berada langsung dibawah Komando Operasi TNI-AU. Namanya kemudian diubah menjadi Pangkalan Udara Soewondo. Nama Soewondo diambil dari seorang prajurit TNI-AU yang gugur setelah pesawatnya ditembak jatuh oleh Belanda di Pematang Siantar.
Ditulis oleh JOEY BANGUN.
—————————————-
SUMBER SEJARAH
Sejarah Medan Tempo Doeloe – Tengku Luckman Sinar
https://id.wikipedia.org
https://nl.wikipedia.org
https://de.wikipedia.org
https://tembakaudeli.blogspot.com
SAKSIKAN VIDEO INI