Perjuangan Pahlawan Sumatera Utara

Oleh Joey Bangun

Pendudukan Belanda di Sumatera Utara tidak mudah. Mereka harus melakukan agresi militer melalui 2 arah yaitu pantai Timur dan pantai Barat Sumatera. Di pantai Timur Belanda menghadapi Perang Sunggal yang dipimpin oleh Datuk Sunggal dan juga Perang Karo yang dipimpin oleh Kiras Bangun, atau yang lebih dikenal dengan nama Pa Garamata. Sementara di pantai Barat, Belanda harus berjibaku dalam Perang Batak yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII.

Setelah Traktat London tahun 1824 perjanjian yang disepakati antara Belanda dan Inggris untuk tukar menukar daerah jajahan, Belanda semakin percaya diri untuk menguasai Sumatera.  Berkat bantuan kerajaan Siak, Elisa Netscher, utusan Belanda datang menemui Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam untuk bernegoisasi dengan alasan memberikan perlindungan politik.

Dengan sebuah perjanjian, Sultan Deli memberikan konsesi kepada Belanda untuk membuka perkebunan tembakau. Perkebunan tembakau itu pertama kali dibuka oleh pengusaha Belanda bernama Jacob Nienhuys.

Perkebunan Tembakau itu ternyata berkembang pesat. Namun yang disayangkan, pelan-pelan tanah-tanah ulayat rakyat dengan serakah dicaplok oleh Belanda, untuk dijadikan perkebunan tembakau. Belanda beralasan mereka sudah mendapat ijin dari Sultan Deli. Tindakan Belanda inilah yang memicu kemarahan rakyat. Kemarahan inilah yang memicu perang Sunggal.

Laskar Rakyat yang didominasi oleh Suku Melayu dan Karo mulai membakari perkebunan dan bangsal-bangsal tembakau di Sunggal dan sekitar Medan. Kobaran perang dipimpin oleh Datuk Mahini Surbakti atau lebih dikenal dengan gelar Datuk Kecil.

Pada tahun 1872 Belanda mengirimkan Agresi Militernya namun dipukul mundur oleh gerilyawan Sunggal yang mendapat bantuan Laskar dari Dataran Tinggi Karo, Gayo dan Alas. Belanda harus mengirimkan 3 kali Agresi Militer sampai mereka bisa menangkap Datuk Kecil. Datuk Kecil Surbakti lalu dibuang ke Jawa.

Perjuangan dilanjutkan oleh penerus Datuk Sunggal bernama Badiuzzaman Surbakti. Belanda mengajak Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti berdamai. Mereka mengundang sang Datuk ke Batavia untuk menegoisasikan perdamaian dengan Gubernur Jenderal Belanda. Dalam negoisasi itu Belanda akan memaafkan Badiuzzaman Surbakti jikalau dia mau bersujud dihadapan Gubernur Jenderal. Penawaran itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Datuk Badiuzzaman. Akibatnya Datuk Sunggal ini ditangkap dan dihukum seumur hidup di Cianjur. Perang Sunggal pun berakhir di tahun 1895.

Perang Sunggal terjadi selama 23 tahun dan dipimpin oleh 2 generasi Kedatukan Sunggal. Sayangnya tak satu pun dari mereka yang diangkat pemerintah menjadi Pahlawan Nasional.

Baca Juga  Sejarah Kemerdekaan Kota Medan

Politik Belanda dikenal dengan nama Pax Netherlandica yaitu politik kolonial Belanda untuk menyatukan wilayah Nusantara dengan perjanjian dan invasi Militer. Setelah menguasai Deli dan Medan, maka Belanda beralih untuk menguasai Tanah Karo.

Untuk pendudukan Tanah Karo, Pemerintah Belanda mendapat sponsor dari Jutawan Tembakau Deli bernama J.T. Cremer. Belanda menugaskan Nederlandsche Zending Genootscap (NZG) mengirim misi penginjilan ke kampung Buluh Awar Sibolangit.

Belanda mencoba melakukan pendekatan dengan cara penginjilan. Penginjilan itu berkembang. Belanda melanjutkan pendekatan ke dataran tinggi Karo dengan mengirim Pdt. Guillaume sebagai utusan dengan alasan penginjilan. Strategi penginjilan di Sibolangit diharapkan bisa ampuh juga disana.

Namun kehadiran Pdt Guillaume justru membuat amarah seluruh raja-raja dan tokoh-tokoh Karo. Mereka menganggap Guillaume adalah mata-mata Belanda untuk menguasai Tanah Karo. Pendeta Guillaume ditolak. Rumah yang ditempatinya di Kabanjahe diserbu oleh laskar pejuang yang dipimpin oleh Kiras Bangun alias Pa Garamata.

Belanda tidak menyerah. Mereka melakukan operasi militer Belanda ke Tanah karo dipimpin oleh Letnan Kolonel Eleckman. Terjadi peperangan hebat di sekitar Kabanjahe dan Berastagi. Pasukan Garamata berusaha bertahan namun kalah karena kurang dalam amunisasi senjata. Berastagi dan Kabanjahe sebagai kota utama tidak bisa dipertahankan. Mereka kemudian mengungsi ke Dairi.

Utusan Belanda datang menemui Garamata untuk menegoisasikan perdamaian. Belanda akan memaafkan Kiras Bangun atau Garamata dan mengajaknya pulang ke kampungnya Batukarang dan menjadi rakyat biasa.

Namun janji Belanda itu tidak ditepati. Belanda menangkap Kiras Bangun kemudian mengasingkannya selama 4 tahun di perladangan Riung, sekitar 6 kilomenter dari Batukarang.

Garamata wafat tahun 1942 di usia 90 tahun kemudian dimakamkan di desa kelahirannya Batukarang.

Dia diangkat menjadi Pahlawan Nasional denganpenetapan S. K. Presiden No. 082/TK/2005, bertanggal 7-11-2005.

Di pantai barat Sumatera, Tapanuli bagian Utara tepatnya di Silindung, terdengar kabar Sisimangaraja XII mengancam akan mengusir bahkan akan membunuh Misionaris Jerman Nommensen dan penginjil lainnya serta juga penduduk yang sudah beragama Kristen.

Kabar itu menyebut pasukan Sisimangaraja XII akan dibantu pasukan dari Aceh. Nomensen segera mengirim surat ke Residen Tapanuli di Sibolga untuk meminta bantuan Belanda.

Baca Juga  Traktat London 1824

Berita Sisimangaraja XII akan mengancam mengusir penginjil dan orang-orang Kristen di Silindung juga masih simpang siur. Beberapa menyebutkan Sisimangaraja XII sangat dekat dengan Nomensen. Disisi lain pasukan Aceh didatangkan Sisingamangaraja bukan untuk membunuh, tapi untuk ikut mendamaikan raja-raja Huta di Samosir yang saling bertikai saat itu.

Namun ada juga selentingan berita Sisingamangaraja tidak mau pengaruh Zending justru membuat orang-orang Batak meninggalkan agama lamanya.

Belanda yang sudah menduduki Minangkabau dan Tapanuli bagian selatan selama 30 tahun cepat memberikan reaksi. Inilah saat tepat untuk menguasai Tanah Batak. Mereka cepat bergerak ke Silindung. Alasan Belanda adalah ingin melindungi Nomensen dan Misi Zending di Pearaja Silindung.

Sisingamangaraja sebetulnya tidak menghendaki peperangan terjadi. Dia berusaha mengirim surat kepada Residen Boyle di Sibolga agar kedaulatan Tanah Batak tidak diganggu. Namun surat itu tidak diindahkan. Kehadiran tentara Belanda di Pearaja dan bergerak ke Bahal Batu justru memprovokasi Sisingamangaraja XII untuk mengumumkan Pulas (Perang) melawan Belanda.

Tanggal 16 Februari 1878 dilakukan penyerangan ke Pos Belanda di Bahal Batu. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bakkara sebagai pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan Kolonial. Seluruh Bakkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa mengungsi. Walaupun Bakkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya.

Pada 17 Juni 1907 perjuangan Sisingamangaraja berakhir dalam perang di Dairi. Pihak Belanda yang dipimpin oleh Kapten Hans Cristoffel melakukan penyergapan di pinggir bukit Aek Sibulbulon. Dia tewas bersama putrinya Lopian, dan kedua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi.

Dia dikebumikan secara militer oleh Belanda pada 22 Juni 1907 di Silindung. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige pada 14 Juni 1953 yang dibangun oleh pemerintah. 

Sisingamangaraja XII diangkat menjadi Pahlawan Nasional dengan penetapan S. K. Presiden No. 590 Tahun 1961, bertanggal 9 November 1961.

Demikian sejarah singkat perjuangan Pahlawan Sumatera Utara dalam mempertahankan kedaulatan di negeri ini. Mari kita hargai jasa-jasa para pejuang kita dengan karya terbaik untuk Sumatera Utara.

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *